Sabtu, 02 April 2011

Kawat Kepada Tirai Keranda Salju

siang itu, kami sudah siap pergi ke hutan, belantara tanpa nama tanpa jejak, yang lain membawa segala amunisi buat malam-malam dan takut, aku sendiri berbekal kompas intuisi, bukan kuremehkan segala situasi, hanya yakin aku dan alam sudah begitu dekat sampai orang-orang yang tahu diriku tak pernah meninggalkan rumah, memang, di siang yang biasanya, aku adalah penghuni rumah yang paling patuh terhadap orang-orang yang angkuh, dalam diri ini, terkadang kompromi itu sangat mendesak, sahabat, seperti rasa, rasa pada yang hilang, dan kita dibuat takluk pada keadaan yang bila dipikir itu cuma muslihat saja.



Sesampai di lautan pohon-pohon yang menjadikan kami seperti gerombolan semut yang kebingungan, aku yang melangkahkan kaki begitu pelan, mencoba mendengar yang tak diperhatikan yang lain, aku khusuk benar, seolah-olah yang lain itu angin dan sinar yang bertemu aku, telapak tangan ini tak pernah bosan membelai tiap daun-daun yang kusentuh, meski rupa dan ukuran daun itu silih berganti, duri yang mencium kulit ariku serasa aku dicubit tangan yang halus, dan napasku begitu lirih selirih aku bernyanyi pada arah yang sepi, bekas kaki-kaki kami cepat menutup melambaikan salam dan tak pernah akan berjumpa lagi, aku yang paling belakang di baris itu.



Untuk apa kami hari itu melewati lorong-lorong semak belukar yang belum kami jelajahi, aku sendiri heran, sahabat, kami sepakat tak akan membuat kesepakatan terbuka dan kesimpulan yang tertutup, bahasa kamilah yang bicara, bukan kata-kata yang terukir di daun lontar dan batu-batu bisu, betul, kami tak meniatkan langkah itu sebelum jalan memberi amanat dan mungkin saja binantang-binantang menjadi saksi kami tanpa sepengetahuan hati, kami jalan saja, oh, mengapa aku tak mendiamkan diri ini di tengah-tengah gerakan mereka, aku rindu suara alam dan siulan burung yang anggun, aku ingin di dekap seekor kijang, dan aku benar-benar ingin mengatakan bahwa mereka adalah kekasihku.



Sinar-sinar itu menyulam reranting dan dahan juga mengenai mataku, kuterima dengan segenap rasa dan jiwa, aku takjub, aku hilang di antara batang-batang pinus, akasia, mahoni dan jati, mereka hidup dan berkata, lalu hilanglah suaraku, luruhlah tenagaku, aku diam bak patung yang pucat di pinggir-pinggir jalan setapak, hirau lalu-lalang orang-orang yang melewati patung tak bertuan, maka, mengalirlah di pipiku menyesalkan masa-masa yang silam dan akan datang, di manakah pohon-pohon kehidupan, aku mendekap tanah yang basah, sujudku resah, seperti baru saja aku kena sebuah kutukan, dan aku diam saja.



Benar saja, jika samudera bisa menampung segala dan ombak yang tak pernah berhenti bergerak, tapi pohon-pohon dan hutan-hutan, aku tidak tahu, sahabat, keserakahan dan darah saja tak pernah bisa mengerti arti hidup itu, nusantara, nusantara, ah, nusantara...kau tak seberuntung dipantara, tapi nusantara terlalu sering disetubuhi sampai laut diterlantarkan.



Aku pulang, aku bimbang, hutanku rumahku, lautku halamanku, daun-daun berguguran yang masih kehijauan, burung-burung pergi dan ada sisa-sisa bangkai, kuteriakkan pada langit ia bisu, kumarah pada biru laut ia bisu, aku mau berbisik padamu, sahabat, hutan-hutan itu tempat bermain anak-anak kita.

Label:

Kawat Kepada Aras Sandi

Gesitnya tubuh yang meliuk-liuk di bawah rimbunnya kangkung, di rawa-rawa, tanpa sehelai kainpun, tak ada hasrat yang muncul, aku tidak berenang, aku melihat dari bibir jurang, tubuh itu memancarkan sisiknya seperti ikan yang hilang di akuarium di tengah malam, saat orang-orang menyulam rembulan, yang lelaki mengejar serigala bertaring ganjil, mengingatkanku tentang seorang berwajah gorilla dan bertangan ular, aku heran, tubuh itu setengah warna di tiap sisinya, apakah air dan kangkung mempengaruhi sinar rembulan yang belum genap di puncak bukit mungil itu, sekiranya tepat dugaanku, tak mungkin aku menceritakan padamu, sahabat.



Dulu, rawa-rawa ini adalah hamparan sawah kami yang setia memberikan isi dan senyum di tiap pagi dan gurauan di petang hari, ada empat sungai yang mengalir seirama detak jam di surau dan balai desa, sawah itu sahabat yang tak bernama, namun bisa berkisah tentang budak-budak sisa kerajaan dan para kompeni, bentuk sungai itu aneh, seperti seekor ular yang putus tapi bisa sangat berbahaya jika ada orang yang mencoba menyelam dalam waktu kesendirian, abu-abu warna air sungai itu, sebab apa, sampai rawa-rawa yang mengganti musim panen pun tak ada jawaban yang memuaskan para petani.



Ikan-ikan yang sering meritualkan di titik-titik hujan adalah nyanyian sungai itu sendiri, sering aku melelehkan air sunyi dalam ketidakpastianku untuk menghitung daun padi yang terbakar kala sawah itu masih gagah melindungi anak-anak kecil yang berlari di pematang, di senja hari, tapi sudahlah, aku sadar, penerimaan adalah awal dari segala kekalahan pada jejak-jejak lumpur di sela-sela batang padi, begitu juga jika aku mencoba untuk menangkal tentang yang hilang, sama saja bunuh diri di tengah-tengah sungai yang abu-abu airnya, kalapkah yang menelan itu nyawa atau jika memang ada sepuluh naga yang datang diam-diam dari China, entahlah, yang jelas hari pasti akan berganti meskipun terulang pada nama yang sama.



Setengah sisik dari tubuh itu adalah lukisan yang terang, sedang sisi lainnya adalah arsiran luka dan darah, bagaimana sisi yang terang kuanggap sebuah lukisan, itu bisa terlihat jika tubuh itu meliuk-liuk di permukaan air dan dekat dengan rerimbun kangkung, kangkung yang menjuntai akar-akarnya tiap kali ombak kecil menggoyangkan seluas air itu bisa bergerak dengan angin yang teratur, dan aku sangat ingin menyentuh sisik yang penuh arsiran luka dan darah, bekas perang atau siksaan mengantarkan ingatanku pada orang-orang yang gagah dari penghabisan perang antar desa, lalu musnahlah cerita tentang perebutan kekuasaan yang hanya dinikmati seorang berkepala gepeng saja.



Sampai harapanku tak bisa menyentuh tubuh yang gesit itu, aku tak pernah berhenti bermimpi jika memang orang yang mati di dasar sungai yang abu-abu, kadang lamunanku direnggut oleh ombak dan serigala bertaring ganjil, aku hanya bisa mendengar ikan-ikan yang merdu di titik air hujan ketika jatuh di sungai, sampai aku tahu jawaban dari rawa-rawa yang mengganti musim panen di sawah kami, walau sekecil apapun itu aku masih bisa bercerita yang belum pernah kutemukan kebenarannya kepadamu, sahabat, tapi jangan bilang ke yang lain jika mereka tak kuat dalam mendengar kisah yang bisa saja ada yang menyebut ini mitos atau lupakan saja, andaikan sahabat sendiri menyebut ini juga igauan seorang yang baru belajar ilmu kegonjang-ganjingan.



Dan aku sendiri terjun bebas dari jurang yang tingginya tiga meter, aku menyelam, munyusul tubuh dua sisi sisik yang beda nan unik itu, aku mencium akar-akar kangkung yang menjuntai saat omba-ombak aku ciptakan dengan gerakan tubuhku yang tak segesit tubuh yang aneh itu, aku mendengar nyanyian ikan-ikan dan kutemukan sisa-sisa batang padi yang terbakar di dasar rawa-rawa, kugenggam dan kukembalikan, aku mengejar tubuh yang gesit, namun, sampai hari yang datang yang terulang meskipun sama nama, aku belum sempat berjumpa dan sekedar jabat tangan, ah, aku pasti akan memeluknya, sahabat.

Label: